PALU – Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding mengunjungi Sulteng dalam rangka Sosialisasi Kebijakan P2MI dan pertemuan dengan Pemprov Sulteng di ruang polibu kantor gubernur, Senin (18/11).
Dalam arahannya ia menegaskan komitmen pemerintah melindungi pekerja migran sebagai pahlawan penyumbang devisa negara.
Disebutnya, ada dua isu krusial yang mesti ditangani kementrian baru ini yakni pertama mencegah eksploitasi pekerja migran dan kedua meningkatkan devisa negara.
“Tolong (pak menteri) kalau bisa devisanya ditambah,” ucap menteri kelahiran Ogoamas kabupaten Donggala, mengulangi permintaan Presiden Prabowo kepadanya.
Berdasarkan data, devisa dari sektor pekerja migran Indonesia meningkat pesat hingga 227 Triliun Rupiah dan jadi yang terbesar kedua setelah migas.
Untuk jumlah pekerja migran Indonesia diperkirakan sudah mencapai 10 juta namun yang resmi terdaftar di sisfo BP2MI baru 5 juta pekerja. Olehnya pekerja migran yang belum terdaftar ini jadi fokusnya supaya terdata agar dapat dilindungi.
Apalagi mereka yang tidak terdaftar, diduga kuat adalah pekerja kategori low skill (tidak terampil) yang jadi titik rawan eksploitasi Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
“Kita ingin pekerja migran dari hulu ke hilir ditangani kementrian ini,”harapnya untuk melindungi pekerja migran Indonesia.
Sementara Pjs Gubernur Dra. Novalina, M.M dalam sambutannya mengapresiasi kunjungan menteri P2MI untuk menyelesaikan permasalahan pekerja migran di Sulteng.
Diketahui Sulteng mengirim 1040 pekerja migran yang bekerja di sektor informal sebanyak 60,7% dan sisanya 39,3% di sektor formal.
Dari jumlah ini, ia melanjutkan hanya 14,5% pekerja migran Indonesia asal Sulteng yang layanan proses penempatannya dilakukan BP3MI Sulteng dan selebihnya 85,5% layanan proses penempatannya dilakukan di luar Sulteng.
Masalah lain yang juga teridentifikasi ungkapnya ialah besarnya biaya yang mesti dikeluarkan calon pekerja migran untuk mobilisasi penempatan dan pemeriksaan kesehatan yang keduanya berada di Jawa.
Faktor-faktor ini lah yang membuat calon pekerja ‘kepincut’ memakai jasa calo supaya lolos bekerja ke luar negeri, namun akhirnya justru menipu mereka.
“Inilah yang menjadi makanan empuk calo-calo migran yang menjurus ke tindak pidana perdagangan orang,” tegasnya yang tidak ingin Sulteng jadi daerah extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) TPPO.
Melalui momen ini diharapnya dapat menjadi simpul menyelesaikan masalah pekerja migran dengan penguatan koordinasi dan kolaborasi pusat dan daerah.
Turut hadir di pertemuan ini, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah Dr. Bambang Hariyanto, Waket DPRD Sulteng Syarifuddin Hafid, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Dr. Rudi Dewanto, S.E, M.M, Kadis Tenaga Kerja dan Transmigrasi Drs. Arnold Firdaus, M.T, Kadis P3A Dr. Zubair, M.Si, kepala SMA dan SMK, stakeholder dan mitra terkait.***